Cut Nyak Dhien | |
---|---|
Lahir | Lampadang, Kesultanan Aceh | 12 Mei 1848
Meninggal | 6 November 1908 Sumedang, Hindia Belanda | (umur 60)
Sebab meninggal | Meninggal karena sakit-sakitan setelah diasingkan oleh Belanda. |
Tempat pemakaman | Komplek Makam Cut Nyak Dhien, Sumedang, Jawa Barat 6°51′47.7″S 107°54′59.1″E / 6.863250°S 107.916417°E |
Nama lain | Ibu Perbu / Ibu Ratu / Ibu Suci (Sumedang) |
Dikenal atas | Pahlawan Nasional Indonesia |
Gerakan politik | Perang Aceh dengan Belanda |
Lawan politik | Belanda |
Suami/istri | |
Anak | Cut Gambang |
Orang tua | Teuku Nanta Seutia |
Kerabat | Teuku Mayet Di Tiro (Menantu) Hasan Di Tiro (Cicit) |
Keluarga | Teuku Rayut (Saudara Kandung) |
|
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, (12 Mei 1848 – 6 November 1908);[1] dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Tewasnya Ibrahim Lamnga di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 kemudian menyeret Cut Nyak Dhien lebih jauh dalam perlawanannya terhadap Belanda.
Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah sebelumnya ia dijanjikan dapat ikut turun di medan perang jika menerima lamaran tersebut. Dari pernikahan ini Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang diberi nama Cut Gambang.[2] Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Usia Cut Nyak Dien yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai penyakit seperti encok dan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[3][4] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Keberadaan Cut Nyak Dhien yang dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh serta hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap membuatnya kemudian diasingkan ke Sumedang. Cut Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.[5]